Rabu, 23 Mei 2012

The Power of Princess

Allahu akbar, allahu akbar, allahu akbar.. lailahaillahuallahuakbar.. allahu akbar walillahilham.
    Terdengar suara takbir berkumandang dimana-mana, seluruh umat islam merayakan hari raya idul adha dengan suka cita. Tersebar kebahagiaan pada setiap pelosok daerah. Ajangnya untuk berkumpul keluarga, penuh keceriaan, tawa canda meluas di setiap penglihatanku. Namun tidak untuk keluargaku..
    Selesai sholat ied aku harus bergegas untuk menjenguk Ayah, beliau terbaring lemah di Rumah Sakit Kerawang. Kurang lebih udah empat bulan beliau di rawat karna Diabetes yang menyerangnya. Sempat meneteskan air mata ketika aku melihat tetanggaku yang sedang berkumpul dengan keluarganya. Aku merindukan saat-saat seperti itu, batinku.
    “ Kamu naik apa ke Kerawang Mbak..? “ tanya Mama yang semenjak sepuluh menit yang lalu meneleponku. Suaranya terdengar seperti menahan nangis, entah apa lagi yang terjadi disana.
    “ Aku naik motor Ma.. anak-anak yang lain menyusul naik mobil. Kayaknya bakal aku duluan yang sampe sana. Makanya aku mau berangkat pagi aja. “ Ujarku.
    “ Ya sudah.. kamu yang atur ya.. Mama dan Ayah menunggu disini. “ Balas Mama lagi, masih tetap menahan nangis. Aku tau itu..
    “ Iya Ma.. doain aja semoga semuanya selamat sampe sana ya.. Aku mau siap-siap berangkat dulu. “
    Aku menyiapkan segalanya, menyiapkan perlengkapan keluarga. Semua terlihat sibuk untuk bergegas pergi, terlihat kedua adikku semangat mempersiapkan semuanya. Aku tau mereka sangat merindukan Ayahnya, begitupun Ayah yang sangat menginginkan anak-anaknya berkumpul hari ini, berbeda denganku yang tiap weekend selalu punya kesempatan untuk kesana. Melihat keadaan beliau, tapi mereka hanya sekali dua kali punya kesempatan untuk menjenguknya. Tak sedikitpun perasaan ragu untuk tetap berangkat, namun perasaanku sedikit berbeda. Aku nekat berangkat dengan motor..
    Perjalanan selama empat jam terasa  sangat lama, pikiranku ingin cepat sampai disana dan menemani Ayah, berkhayal bisa tertawa lepas saat keluargaku utuh di hari raya kali ini, aku tau mereka menungguku.. menunggu adik-adikku. Pukul 11.00 WIB aku tiba, terlihat Dede yang berlari menghampiriku, terlihat sedikit murung.. aku tau apa yang terjadi. Benar saja, keluarga besarku batal mengunjungi Ayah hari ini, mobil mendadak bermasalah sebelum masuk tol. Mereka memutuskan untuk kembali pulang, dan aku lemas.... terseok-seok berjalan menuju kamar rawat Ayah. Menyiapkan mental untuk melihat kekecewaan Ayah, aku gag berhasil membawa adik-adikku untuk sampai disini. Ayah menangis, memelukku... terisak.. Ayah maafkan aku..
***
    “ Besok kita berangkat ke Kerawang, siapin aja perlengkapan kalian. Kalian menginap disana selama seminggu ya. Bikin surat ijin untuk sekolah, nanti Mbak yang tanda tangan. Tapi tolong rencana ini jangan dikasih tau ke orang-orang yang di Kerawang. Cukup kita aja dulu yang tau, Mbak mau bikin kejutan buat Mama, Ayah dan Dede.. “ Ujarku.
    “ Terus kita naik apa ? “ tanya Rashi.
    “ Kendaraan lagi diusahakan, sepulang kuliah Mbak mau cari kendaraan. Biar besok pagi Mbak bisa nganter kalian. Doain aja biar dapet, kasian Ayah pengen banget ketemu kalian. Udah sana siapin baju, terus kerumah wali kelas masing-masing buat ngasih surat ijin. “ tegas ku.
    Terlintas keraguan dalam hatiku, sedikit bimbang dengan rencanaku kali ini. Aku masih gag percaya feeling ku tiga hari lalu tepat. Aku nekat berangkat pake motor, padahal secara logika apa salahnya aku ikut keluarga untuk berangkat naik mobil. Batinku terus memaksa untuk naik motor, andai aku membiarkan keegoisanku.. pasti aku gag bakal bertemu Ayah dan menemaninya saat beliau membutuhkanku. Air mataku mengalir...
    Esoknya semua berjalan sesuai keinginanku, tepat waktu perkiraan untuk sampai di Kerawang. Sayangnya hanya meleset posisi keluargaku yang disana, kita mesti belok arah ke Cikampek. Karna Ayah harus check up di Rumah Sakit Aqma. Belum ada yang tau kalau kita akan mengunjungi mereka, sepanjang jalan tadi aku membohongi Mama, hihihi... maaf Ma.. ini demi kalian semua. Sedikit kenakalanku untuk membahagiakan kalian yang berjuang disini, jerih payahku untuk berusaha membuat kalian tersenyum. Karna hanya ini yang bisa aku lakukan untuk kalian.. keluarga kebanggaanku..
***

    Berhari-hari kulalui, hampa.. lelah memerangi batin sendiri. Tapi kuingat Ayahku yang terbaring lemah. Beliau masih membutuhkanku, banyak hal yang belum aku lakukan untuknya.
    Seminggu berlalu, saatnya menjemput adik-adikku di Kerawang. Esoknya mereka harus kembali ke sekolah, cari solusi untuk masalah kendaraan. Aku terpuruk.. kehabisan akal. Terasa sulit kali ini, perang dengan kegelisahan hati. Aku sendiri bingung dengan apa yang aku pikirkan. Namun seperti akan ada yang terjadi.. tapi apa ? aku berusaha untuk menerobos kejadian yang belum terjadi. Mencoba untuk jadi peramal.. hehehe..
    Pukul 9 pagi aku bersama Nenek dan orang kepercayaan Ayahku berangkat ke Kerawang, tersadar akan ketidaknyamannya mobil yang kita naiki. Bodohnya aku gag membaca akibat dari kecerobohanku, sesampainya d pintu tol sentul.. ban mobil meledak dalam keadaan ngebut, hampir membuat kita semua celaka. Ban rusak parah, bahkan membuat siapa yang ngeliat ban itu merinding karna keadaannya hampir terbelah. Aku pun gag percaya saat melihat keadaan ban mobilku.. namun aku hanya bisa diam sambil memegang handphoneku.. aku shock...
***
    “ jaga diri baik-baik ya Yah... kita semua mau pulang. Ayah harus banyak makan. Pokoknya minggu depan pas aku dateng lagi berat badan Ayah harus naik. Nanti aku bawain mpek-mpek kesukaan Ayah.. aku pasti balik lagi. “ kataku sambil mencium kening Ayah dan beranjak pulang.
    Rasa takutku karna kejadian saat berangkat tadi seketika hilang setelah aku melihat senyuman Ayah. Beliau mengucapkan terima kasih atas apa yang aku lakukan untuknya, hatiku belum puas namun aku hanya bisa membalas senyuman Ayahku. Senyum menahan perih.. aku sedih karna harus jauh darinya. Kenapa keluargaku harus terpisah oleh jarak.. Ayah sembuhlah... jeritanku di setiap doaku.
***
    Bertahun-tahun gag pernah sedikitpun kesempatan untuk bisa merasakan pelukannya, aku dan Ayah terpisah karna ego. Pikiran kami berbeda, sulit untuk disatukan. Hanya keempat adikku yang dapat menarik perhatiannya, bukan aku.. aku hanya memancing emosinya, begitu pikiranku selama ini. Kami serumah, namun kami begitu jauh. Jarang bertemu, beliau berangkat kerja pagi, dan setiap aku pulang kuliah beliau sudah tertidur.. komunikasi kami sangat krisis. Kalo gag penting-penting banget tak akan ada teguran dalam kehidupan kami. Kebiasaan ini membuat aku rindu... rindu akan sosok Ayah yang biasa aku lihat di lingkunganku.. aku iri dengan teman-temanku. Aku lihat kebahagiaan mereka jauh lebih baik dari kebahagaiaanku.
    “ Aku besok berangkat naik Gunung Gede Ma.. ni lagi packing. “ Ujarku sambil meminta ijin pemberangkatan pendakian besok.
    Semua udah siap, anggota pendakian serempak mempersiapkan semuanya. Aku sibuk mendata logistik dan perijinan ke Taman Wisata Gede Pangrango. Maklum pendakian ini aku yang bertanggung jawab, dengan semangat aku mengusahakan semuanya. Sedikit berkhayal aku mengibarkan bendera komunitas di puncak gunung. Gag peduli aku cewe sendiri dalam pendakian itu, yang penting kepuasanku. Kepuasaan naruniku, itung-itung refreshing otak. Aku jenuh di lingkungan keluargaku. Aku geram dengan keadaan hubunganku dengan Ayahku yang semakin memburuk.
    “ Ayah gag ngizinin Mbak, lain kali aja kamu berangkat.. “ tegas Mama saat memanggilku seusai sholat Maghrib.
    “ Tapi Ma.. aku udah nyiapin semuanya..!!!! “
    “ Iya tau, tapi perasaan orang tua gag bisa di bohongin loh, Ayah dan Mama sepakat untuk gag ngizinin karna kita punya mimpi yang sama. Kamu jangan nekat!!! “ bentak Mama.
    Braaaakkkkkkkkk!!!!!!! Aku membanting pintu kamarku, serasa tak adil.. aku marah kali ini. Aku menangis, karna ketidak adilan orang tuaku.
***
    Seakan dunia menikamku, keadaan keluargaku semakin memburuk. Keadaan fisik Ayah menurun, badannya kurus, omongannya sering gak wajar. Aku prihatin dengan keadaan ini, namun aku pun harus berjuang untuk kehidupan dirumah, membimbing adik-adikku untuk tetap semangat sekolah. Weekend baru jatahnya aku menjenguk Ayah dan Mama di rumah sakit. Udah gak ada waktu untuk bersenang-senang, lupakan keorganisasianku sesaat sampai semuanya membaik, pikirku.
    Hari ini ada mata kuliah Speaking Class, dosen itu terlalu baik. Selalu memberikanku kesempatan untuk bisa mengejar nilai-nilaiku yang tertinggal. Minggu ini minggunya Ujian Tengah Semester, harus bisa membagi kefokusanku.. Tuhan.. permudahkanlah jalanku..
    Mendadak perasaanku gak karuan, entah ada perasaan takut yang melanda. Aku mencoba mengerti tentang apa yang aku pikirkan.. melawan batinku sendiri namun aku terasa lelah. Aku teringat Ayah di rumah sakit, ingin rasanya aku berada disampingnya.
    Aku mencoba mengambil handphone kesayanganku, benar saja, Dede baru saja mengirim pesan untukku. Mengabarkan keadaan Ayah yang kritis, tanpa pikir panjang aku langsung membatalkan niatku untuk kuliah. Aku mencoba menenangkan pikiranku, aku menelepon Mama. Terdengar suaranya yang sedang menangis, aku kalut.. tapi tetap mencoba tenang. Khawatir tingkat tinggi..
    Terbesit pikiran untuk mengajak keluargaku untuk berangkat juga, namun aku ragu, gak biasanya aku gak percaya diri seperti ini. Aku bersihkeras untuk gak mengajak mereka. Cukup aku dan kedua orang kepercayaanku yang berangkat dengan motor, aku khawatir kalo berangkat naik mobil akan ada hal yang terjadi lagi seperti kemarin. Apalagi cuaca dan kondisi jadi serba kritis, hatiku mengatakan TIDAK untuk berangkat bersama keluarga, aku berusaha menenangkan keluargaku dirumah, memberikan pengertian untuk bisa berangkat besok pagi. Aku khawatir jika terjadi apa-apa di jalan tol dengan cuaca yang semakin malam. Aku khawatir... terjadi perdebatan kecil antara aku dan nenekku. Namun semua berakhir, setelah mereka mengerti aku langsung bergegas berangkat.
    Selama perjalanan perasaanku campur aduk, terasa Bogor – Karawang begitu jauh. Perjalanan selama empat jam kayak sepuluh jam, pikiranku tertuju pada Ayah. Hafalan surat Al-Mulk menenangkanku, sepanjang perjalanan aku mencoba membaca surat Al-Mulk, sepertinya aku telah membaca sepuluh kali bolak-balik.
Benteng kebatinan untuk melawan kepanikanku, lantunan ayat suci Al-Quran itu menemani hatiku selama kurang lebih empat jam.
    Sesampai di rumah sakit aku langsung berlari untuk menemui Ayah, Ayah menangis melihat kedatanganku.
    “ Ayah udah makan ? “ tanyaku pelan.
    Ayah hanya menggelengkan kepalanya pelan, matanya sembab. Begitu juga dengan Mama, Kaka dan Dede. Mereka bertiga terlihat seperti mengalami hal yang membuat mereka menangis seharian ini.
    “ Ayah tadi janji mau makan kalo kamu udah sampe sini, Mbak ! “ ujar Mama.
    “ Ya udah sekarang aku kan udah sampe Yah, sekarang Ayah makan. Aku mau istirahat sebentar, badanku pada sakit semua. Orang-orang itu seperti makhluk-makhluk yang kesurupan ngebawa motornya. “ jelasku.
    Mama terlihat membuatkan bubur untuk Ayah, aku keluar ruangan sebentar. Dan Kaka mengikutiku..
    “ Omongan Ayah udah semakin ngaco Mbak. Seharian ini Ayah nelponin semua temen-temennya, minta maaf atau apalah. Kaka khawatir.. “ ujar Kaka pelan.
    Aku terdiam, aku bisa rasakan kekhawatiran mereka. Ayah memang belakangan ini sikapnya seperti menunjukkan beliau udah lelah. Tapi aku percaya semua akan baik-baik saja. Aku merangkul Kaka, dan berjalan menuju kamar rawat Ayah. Baru saja Ayah selesai makan, Ayah menyuruhku berdiri disampingnya.
    “ Ayah punya hutang , Mbak. Ayah punya amanah untuk bikin tangga Musholah sekolah yang di Jakarta. Tapi karna selama ini Ayah gak bisa apa-apa, jadi Ayah belum bisa selesaikan amanah itu. Tapi sebelumnya Ayah udah pesan ke tukang lasnya, Ayah rasa beliau lupa akan pesanan Ayah itu. Karna Ayah kan biasanya selalu datang dan menanyakan perkembangannya. Namun Allah menginginkan yang lain, Allah menginginkan Ayah untuk beristirahat, Ayah minta kamu yang selesaikan. Ini uangnya masih ada di Ayah, sepulang dari sini langsung kamu sampaikan masalah Ayah ke tukang las. Suruh langsung kerjakan dan langsung antarkan ke Jakarta. “ ujar Ayah, suaranya seperti menahan rasa sakit. Terdengar kurang jelas namun aku mengerti. Aku menangis.. aku gak sanggup melihat keadaan itu. Aku hanya mampu mengangguk-anggukan kepalaku, karna kalo aku mengeluarkan suaraku pasti Ayah akan tau kalo aku menangis. Ayah benci kalo melihat aku menangis, karna Ayah ingin aku kuat, sepertinya..
    Ayah terus bercerita dan bercerita, tak hentinya beliau berbicara. Mama dan Dede sudah tertidur pulas, mereka terlihat lelah. Aku dan Kaka memutuskan untuk menemani Ayah sampe beliau bisa tidur. Kisahnya sewaktu belum mengenal Mama, perjuangannya untuk mendapatkan hati Mama, kisahnya sewaktu menikah sama Mama, sampai kisah-kisahnya sampai kita ada disini. Aku baru tau sejarahnya kenapa sekarang kita bisa tinggal di rumah yang aku tempati sekarang, sungguh hebat lelaki yang di hadapanku ini, pikirku.
    “ Ayah sekarang udah jam satu malam, Ayah tidur ya.. gak baik kalo Ayah begadang sampe pagi. Kan besok kita mau ke teras, liat keadaan jalan kayak kemarin-kemarin. “ ujarku.
    “ Ayah masih mau cerita, Mbak. Ayah gak mau tidur, kalo kalian mau tidur ya tidur aja. Itu si Kaka kan jam empat pagi harus pulang ke Cikarang. Jadi sekarang istirahat aja dulu, biar besok badannya fit. “ balas Ayah dengan suara lirih, begitu pelan namun aku mengerti.
    Aku memutuskan untuk menemani Ayah sampe dia tertidur, Kaka pun menemaniku. Kita mendengarkan cerita Ayah, aku salut sama lelaki ini. Badannya lemah, namun jiwanya kuat bagaikan karang. Banyak hal positif yang aku ambil dari kejadian malam ini. Batinku tersentuh, pikiranku terang.. namun hatiku menangis.
    Tiga jam berlalu, masih tetap sama. Ayah tak hentinya bercerita, mataku sembab. Aku menangis di bawah Ayah yang sedang terbaring. Aku malu, aku malu sama diriku sendiri. Aku malu kenapa baru sekarang aku bisa sedekat ini dengan Ayah. Siapa aku selama lima belas tahun ini ? aku terkalahkan oleh ego, kami dekat namun kami terasa jauh. Aku baru mengerti, ternyata Allah merencanakan kedekatanku dengan Ayah di saat-saat seperti ini. Aku bangga dengan sosok ini, fisik dan jiwanya seperti terlepas dari penglihatanku. Aku lihat sosok yang kuat, dia berdiri di hadapanku dan tersenyum. Mencoba untuk memelukku, namun aku tersadarkan oleh suara Ayah yang masih bercerita.
    “ Mbak, bangunin Mama untuk sholat tahajud. “ pinta Ayah.
    Aku merayap menuju Mama yang sedang tertidur, badanku lemas. Aku seperti melayang ketika ingin berdiri. Mencoba untuk menahan keseimbangan badanku, aku gak biasa terjaga sampai pagi. Jadi seperti inilah kondisinya.
    Kami sholat tahajud bergantian, sambil menunggu waktu subuh. Sedikit candaan saat membahas soal Ayah yang menanyakan jodoh-jodoh kami. Aku tertawa kecil, Ayah ingin bertemu seseorang yang special untukkku. Calon suamiku ! entah siapa yang Ayah maksud, aku menghilangkan khayalan itu.
    Selesai tahajud, Mama mengantar Kaka ke depan rumah sakit untuk berangkat kerja. Tadinya mau di antar naik motor, tapi sepertinya orang-orang itu terlihat lelah. Mereka tertidur di depan kamar mandi rumah sakit, aku prihatin melihatnya. Kaka memutuskan untuk berangkat naik angkot.
***
    “ Nah kan udah adzan, ayo sholat ganti-gantian lagi. Baru kita ngaji bareng-bareng sampe waktu dhuha. “ ujar Mama.
    “ Iya aku mau sholat. “ jawab Ayah.
    “ Iya Ayah sholat tapi sambil aku peluk ya, biar seimbang posisi tidurnya. “ ujar Mama lagi.
    Aku dan Dede sholat shubuh bergantian, Mama melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran sambil memeluk Ayah yang sedang sholat juga. Seusai sholat aku menghubungi adik-adikku yang dirumah. Untuk menanyakan kapan berangkat ke rumah sakit, karna hari ini keluarga besar akan dateng juga kesini.
    Aku merebahkan badanku yang semalaman suntuk hanya berdiri di samping Ayah terbaring. Mengingat-ngingat apa aja amanah-amanah Ayah. Termasuk mpek-mpek Palembang yang belum sempat aku bawakan untuk Ayah. Aku menarik napas panjang...
    Mendadak sikap Mama berubah, masih dalam posisi yang sama. Memeluk Ayah dalam keadaan sholat, wajah Mama sedikit khawatir.
    “ Tolong panggilkan perawat, minta bawakan oksigen lagi “ pinta Mama dengan suara pelan.
    Dede berlari memanggil perawat, aku mengikuti dari belakang. Aku kembali kalut, Dede memberikan isyarat agar aku gak panik. Aku gak mengerti..
Perawat dan dokter dengan cepat menuju kamar rawat Ayah, mereka terlihat tenang. Mama pun terlihat tenang, aku kembali ke kamar Ayah. Mama tersenyum..
    “ Tolong hubungi pengurus musholah, Mbak. “ pinta Mama.
    “ Hubungi ? hubungi untuk apa ? “ tanyaku heran.
    “ Ayah udah gag ada... “ jawab Mama gugup.
    Seketika badanku lemas dan aku terduduk di sebelah Ayah yang terbaring. Namun kini beliau tak bersuara, tak bercerita lagi, beliau terdiam. Aku menangis, berusaha mengatasi kepanikanku. Aku berteriak, namun suaraku tak mampu melawan perasaan kehilanganku.
    “ Kamu bersyukur Mbak, kamu yang menemani Ayah semalaman ini. Kamu masih di kasih kesempatan untuk bisa menemani Ayah. Jangan menangis Mbak, karna Ayah pasti akan menangis juga. “ ujar Mama sambil memelukku. Aku gak kuasa menahan apa yang ada di pikiranku, Mama mencoba menenangkanku.
    Saat itu juga proses pemandian dan pemakaian kain kafan dilaksanakan. Aku masih gak percaya dengan apa yang terjadi, bahkan aku merasa ini semua mimpi. Kaka kembali ke rumah sakit setelah mendengar kabar ini. Aku menyaksikan proses pemandian, lantunan surat Al-Mulk keluar dari mulutku. Kaka menopang tubuhku yang gak mampu berdiri, aku terisak.. masih tak percaya. Penglihatanku buyar dan aku ambrukkk!!!!
***
    Aku di papah untuk berjalan menuju mesjid, Ayah akan di sholatkan oleh warga setempat. Subhanallah selama dua bulan lebih ini kami hanya mengenal orang-orang yang ada di dalam rumah sakit. Namun yang menyolatkan Ayah justru orang-orang yang sama sekali gak kami kenal. Sekitar enam shaf lebih untuk memenuhi mesjid dimana Ayah disholatkan. Aku, Mama, Kaka dan Dede di shaf paling belakang. Aku berusaha untuk bisa sholat dan berdiri tegak, meski terasa sulit.
    Selesai penyolatan, mobil ambulance telah siap untuk berangkat. Aku pulang dengan perasaan hampa, aku kembali menangis. Air mataku tak hentinya mengalir. Selama perjalanan aku terdiam, flashback akan amanah-amanah Ayah. Apa aja yang beliau katakan, mengingat hal-hal ganjil yang terjadi selama sebulan ini. Astagfirullahaladzim Ayah udah sadar kalo beliau akan menemui ajalnya dari sebulan yang lalu. aku bersyukur karna aku masih diberi kesempatan untuk menemaninya selama beberapa bulan ini.
    Lamunanku tersadarkan oleh adanya suara klakson mobil yang begitu keras, mobil ambulance yang kami naiki mendadak berbelok arah keluar tol. Entah apa alasannya mobil itu bisa keluar tol yang seharusnya kita belum saatnya keluar tol.
    “ Om, kok kita keluar tol ini? Salah belok kan jadinya, coba cari puteran wat bisa masuk tol lagi. “ tanyaku sedikit panik.
    “ Om juga gak tau tiba-tiba setirnya ngebelok sendiri. “ jawab Om Yanto.
    “ Ini tembusan kemana ? “ tanyaku lagi. Yang tiba-tiba aku terperanjat akan hal bangunan-bangunan yang kita lewati. Selama perjalanan menuju rumah duka aku menjerit, menangis, ingin rasanya aku memeluk tubuh Ayahku yang telah terbalut kain kafan. Mama, Dede dan Kaka heran melihatku menangis terus. LP cipinang, PMI Jakarta, dan Universitas Ibn Khaldun Jakarta. Dimana janji-janji Ayah apabila sembuh nanti akan mengunjungi tempat-tempat itu. Beliau pernah berjanji padaku, dan kini semua janjimu terlaksanakan Yah.. walaupun kini kau tak lagi bernyawa namun kau masih mampu menepati janjimu. Badanku lemas...
    Lima belas menit lagi mobil ambulance tiba di rumah duka, sesaat keluar tol warung jambu kami di sambut keluarga kami. Mengawal mobil kami sepanjang jalan sampe di rumah duka. Aku sedikit lega karna akan melihat adik-adikku disana. aku bahagia karna mereka mendapat kesempatan untuk bersama Ayahnya selama seminggu tepat dua minggu sebelum Ayah pergi untuk selamanya. Tak ada penyesalan sedikitpun, namun aku masih belum bisa menguasai rasa sedihku..
    Aku kembali panik, mobil ambulance yang kami naiki mendadak mogok. Mesin bermasalah dan bener-bener gak bisa jalan. Harus menempuh jarak 1 km lagi untuk sampe di rumah duka. Pihak keluarga yang mengawal kami dari pintu tol mengambil inisiatif untuk mendorong mobil bersama-sama. Sekitar 100 meter mobil di dorong aku tersadarkan oleh sesuatu.
    “ Aku harus turun Ma.. “ ujarku pelan.
    “ Untuk apa ? “ tanya Mama heran.
    “ 100 meter dari sini ada tukang las kan, aku teringat sama amanah Ayah, aku harus turun. “ ujarku lagi sambil bergegas turun dari mobil ambulance. Aku berusaha untuk menyeimbangkan posisiku berdiri. Kejadian ini menarik perhatian warga setempat.. mobil jenazah mogok mendadak tanpa tau sebab yang jelas.
    Aku berjalan tertatih melewati warga setempat yang terfokus pada kami, mataku sudah mulai membengkak. Mungkin karna kebanyakan menangis, aku berjalan tanpa sendal.. agar aku dapat merasakan tapakan kakiku. Aku khawatir ambruk lagi..
    Sesampainya di tukang las aku langsung menemui atasannya, aku menjelaskan apa yang terjadi sama Ayah. Ternyata sebelum Ayah sakit, memang beliau pernah memesan tangga musholah berikut ukuran-ukuran tangganya, namun karna Ayah sakit jadi Ayah gak mempunyai kesempatan untuk mengecek pesanannya itu. Sebelum menemui ajalnya Ayah teringat dan langsung menyerahkan semuanya ke aku.
    “ Mobil jenazah Ayah ada di belakang saya, Pak. Saya harap Bapak bisa langsung menyelesaikan amanah Ayah saya, sebelum Ayah meninggal beliau sempat menitipkan uang ke saya. Dan ini saya berikan ke Bapak, agar mempermudah Bapak dalam menjalankan amanah Ayah saya. “ ujarku sambil terisak.
    Bapak itu menangis, dia begitu menyesal karna meremehkan apa yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Setelah aku menjalankan amanah Ayah, mendadak mobil ambulance yang mogok itu dapat berjalan. Meski masih dalam keadaan mogok, dari jauh terlihat mobil keluarga yang datang untuk menarik mobil ambulance agar bisa sampai di rumah duka.
    Sesampainya di rumah duka, perasaanku miris. Melimpahnya tamu-tamu yang hadir dalam pemakaman Ayah. Begitu banyak orang-orang yang memiliki rasa sukacita terhadap Ayah, subhanallah jeritan batinku.
    Penghormatan terakhir untuk sang pahlawan tanpa tanda jasa, sekali lagi Ayah disholatkan. Aku terisak ketika melihat penuhnya warga yang menyolatkan Ayah di Musholah belakang rumahku. Ayah memang hebat, sungguh hebat. Semua orang terlihat merasa kehilangan, sesosok Hamba Allah yang selalu memiliki sifat tangan terbuka dalam menjalankan segala kewajibannya. Pendiam namun ulet, tak pernah mengeluh dalam menjalankan pekerjaan sesulit apapun. Tak pernah mengatakan TIDAK untuk membantu sesama.. kini semua hanya kisah kebanggaan yang mampu tersimpan.
    Pemakaman dilakukan hari itu juga, setelah ba’da Dzuhur. Berbondong-bondong para pelayat mengikuti alurnya jenazah Ayah. Aku bersama ke empat adikku berjalan bergandengan di belakang rombongan teman-teman Mama yang memapah jalannya Mama. Mama tak kuat untuk berjalan sendiri, aku kembali terisak. Tak mampu membendung rasa haruku.. Ayah.. aku mencintaimu, batinku menangis.
    Aku bersama keempat adikku berjanji, untuk selalu menjaga Mama. Sampai kapanpun.. akan ku jaga kisahmu dan titipan-titipanmu. Kini kami antarkan kau ke pembaringan terakhirmu.. bersama Mama yang semakin tertatih mengantarkan kepergianmu. Tak kan lelah kami memanjatkan doa untuk arwahmu, Ayah kami mencintaimu... sungguh mencintaimu...

For my spirit..
Mulyadi Handoko bin Djaelani Handoko
Wafat 19 November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar